Kamis, 21 Juli 2011

ILMU KESEMPURNAAN ( INSAN KAMIL )

Postingan ini adalah sebuah kutipan atau postingan dari Kampus alus ,yang menurut saya sangatlah di sayang kan kalau tidak membantu menyebarluaskan ilmu yang begitu bermanfaat bagi kehidupan dunia dan Akhirat, saya pribadi sangat memuji kampus wong Alus di dalam menjabarkan suatu hal yang begitu terselubung , yang kita tau adalah satu hal yang sangat mustahil bagi kita untuk mendapatkan rahasia ilmu hakikatnya hidup dari para Guru dan para mursyid jikalau tidak mencoba masuk mengetuk pintu2 rumah mereka (paham ajaranya) sekali lagi izinkan kami untuk meneruskan ilmu ini agar lebih panjang perjalanannya di hati pembaca sekalian. dengan judul



NGELMU KASAMPURNAN



Wongalus

Salam KWA-ngen…

Sedulur-sedulur KWA yang dimuliakan Allah SWT, pada kesempatan kali ini saya ingin sedikit berbagi dengan panjenengan semua. Saya mulai dengan sebuah dialog antara Syech Siti Jenar dengan seorang tamu yang bertandang ke rumahnya.

Tamu: Saya mencari Syech Siti Jenar?

SSJ: Syech Siti Jenar tidak ada yang ada Allah

Tamu: Kalau begitu saya mau mencari Allah

SSJ: Allah tidak ada, yang ada Syech Siti Jenar.

Makna dari dialog yang sarat dengan sufisme di atas adalah Aku mencari diriku dan hanya menemukan Allah, Aku mencari Allah dan hanya menemukan diriku. Man Arofa Nafsahu, Faqod Arofa Rabbuhu. Siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya. Siapa yang tahu jati dirinya maka jati diri Tuhan juga diketahuinya. Siapa yang kenal aku maka ke-Akuan Tuhan juga diketahuinya. Manusia adalah bayangan di dalam sebuah kaca, sementara yang berdiri di depan kaca adalah Tuhan.

Sang Syech adalah tokoh kejujuran membuka selubung dan tirai hakikat yang dalam sejarah kemudian ditenggelamkan ajarannya oleh penguasa kerajaan Demak karena ajarannya dianggap membahayakan. Penguasa khawatir bahwa pengikut ajaran Sang Wali yang terkenal dengan wirid Sasahidan tersebut nanti akan memberontak melawan kerajaan dan melangggar hukum yang ditetapkan sehingga merongrong kekuasaan raja. Syech Siti Jenar mengajarkan kepada kita semua bahwa kita semua sejatinya mampu untuk melalui beberapa tahap: perjalanan spiritual yaitu mendekati, mengenal, mencintai dan menjadi. Mendekati Tuhan tentu dengan melaksanakan apa yang diperintahkanNya dan menjauhi apa yang dilarangnya dalam syariat, mengenal Tuhan dengan membaca menafsirkan dan menemukan makna hakiki dari apa yang diciptakan-NYA, mencintai Tuhan yaitu dengan perilaku, asmak dan sifat-sifat yang mengidentifikasinya NYA dan kemudian mengalami kebersatuan batiniah dengan-NYA.

Terhubung dengan tahap-tahap pencapaian Spiritualitas semacam ini, saya ingin lebih memfokuskan diri pada bagaimana sesungguhnya membaca simbol. Artikel disini bukan sebuah metode yang tetap dan baku namun lebih ke arah masukan agar akal budi kita menjadi kritis sehingga kemudian mampu menemukan sendiri metode atau jalan membaca tanda-tanda.

Alam semesta ini sesungguhnya adalah bukti Kemahaan Allah SWT. Alam semesta ini juga sebuah simbol jejak, tanda-tanda, sastra tanpa gending, atau papan tanpa tulis yang mana di dalam simbol tersebut ada maksud dan tujuan yang tersebunyi yang masih berupa rahasia. Rahasia ini menurut saya perlu dibuka sehingga kita mendapatkan petunjuk apa maksud dan tujuan tersebut. Di sinilah letak kemuliaan manusia. Hanya manusia yang mampu menafsirkan simbol dan memaknai hidupnya. Sebab hanya manusia yang memiliki akal (verstand) dan budi (vernunft) yang secara inheren sudah diinstalkan kepada manusia sejak lahir.

Karena dunia ini penuh simbol maka dunia ini bersifat hidup. Tanpa simbol, dunia akan mati. Di sinilah persoalannya, tidak semua simbol-simbol itu bisa ditafsirkan menjadi petunjuk menuju arah yang tepat bagi seseorang. Kepekaan untuk menafsirkan simbol, kemudian menjadi penting. Esensi dari simbol dan kisah akan hadir sebagai pengganti dari sesuatu yang tak dapat hadir. Apa yang tak dapat hadir sehingga mewakilkan dirinya lewat simbol atau kisah? Jawabnya: Makna. Ketika membahas makna, kita perlu waspada. Sudah terlalu sering orang menyampur-adukkan antara makna dan kebenaran. Makna sama sekali berbeda dengan kebenaran. Makna adalah sebuah kebernilaian yang membuat sesuatu, apapun itu, tak menjadi kosong belaka. Tapi, tak pernah ada sebuah kebenaran tunggal untuk makna, setiap makna meski datang dari sebuah simbol yang sama. Tuhan dan makna tentang Tuhan jelas dua hal yang berbeda. Adanya Tuhan pada dirinya sendiri (an sich) tentu saja hanya Tuhan yang tahu, namun makna tentang Tuhan semua orang punya hak untuk memilikinya. Sifat pemaknaan selalu relatif dan dilarang diabsolutkan karena akan menjadi mitos dan ideologi. Padahal pemaknaan hanya ciptaan manusia yang bisa benar maupun bisa salah.

Persoalannya sekarang adalah bagaimana cara untuk menafsirkan simbol, tentu saja kita harus menjadi peka. Sebuah pembelajaran sudah dituntunkan oleh para leluhur dan nenek moyang kita. Leluhur kita ini siapa, ya semua yang sudah meninggal. Mereka adalah para nabi, para wali, para raja, para patih, para pahlawan, bapak dan mbah-mbah biksu, pedanda, petani, nelayan dan semua profesi yang disandang nenek moyang kita dulu. Agar suatu makna sampai pada tujuannya, dibutuhkan penuntun atau guru. Spiritualitas adalah soal menemukan ’guru’, yang bisa memberi pelajaran hidup. Guru ini bisa merujuk pada apa saja, tak harus sosok manusia, bisa peristiwa, gerak alam dan sebagainya. Apa yang penting di sini adalah kedalaman pembacaan atas realita. Dalam kedalaman pembacaan itulah ’Sang Guru’ akan ditemukan. Guru yang justeru tidak mengenal lelah mengajari kita adalah alam semesta. Orang Jawa menyebut alam semesta ini sesungguhnya adalah Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Sastra = Pengetahuan/ kawruh, Jendra = Kemuliaan / Keluhuran/ Rahsa, Hayu= Ayu/ Cantik/ Indah, Ning=Wening/Bening/Keheningan, Rat= Semesta Alam Pangruwating= Pembersih/Pengubah, Diyu=Raksasa/ Keburukan/ Kejahatan/ Hal-hal negatif.

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah pengetahuan yang mampu mengubah ‘raksasa’ menjadi ‘manusia’. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misalnya, kisah Prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda, malu memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru ketika melakukan hubungan pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandraguna dengan nama “Betara Kala” (‘Kala’ berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi. Betari Durga memiliki tempat tersendiri yang disebut “Kayangan Setragandamayit”. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.

Simbolisme raksasa bermakna suatu kekuatan besar namun wujudnya primitif. Kekuatan ini tidak identik dengan pengertian jahat, melainkan lebih pada manifestasi kepantasan yang tak sesuai untuk bisa diterima budaya. Manusia pun, dalam dirinya memiliki ‘raksasa’ atau ‘kekuatan besar’ yang bisa mendorongnya melakukan tindakan tertentu. Kekuatan ini tidak baik, tidak pula jahat, manusia sendirilah yang memutuskan apakah akan menggunakannya untuk hal baik atau jahat.

Sebenarnya, Kisah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi memiliki beberapa kesamaan dengan Kisah Adam dan Hawa, yang jika kita renungkan memiliki makna mendalam karena kaitannya dengan ‘hasrat’ atau ‘energi’. Sama seperti para dewata yang tidak menginginkan Begawan Wisrawa membagi begitu saja ilmu (baca: kawruh) Sastra Jendra pada Dewi Sukesi, begitu pula dengan Allah yang murka karena Adam dan Hawa memakan buah dari pohon pengetahuan. Kita juga menemukan bagaimana hasrat menjadi sesuatu yang menggelincirkan manusia ke dalam petaka. Begawan Wisrawa tergoda oleh Dewi Sukesi, sama dengan kisah dengan Adam tergoda oleh Hawa.

Mengapa dikisahkan para Tuhan itu tidak menyetujui jika manusia mendapat kawruh atau pengetahuan? Ini terjelaskan dalam ucapan Betara Guru: “Tidak cukup seperti itu untuk mempelajari ilmu tanpa laku, Serat Sastra Jendra dipagari sifat-sifat kemanusiaan, kalau mampu mengatasi sifat-sifat kemanusiaan barulah dapat mencapai derajat para dewa.”. Artinya, sama dengan pengetahuan yang tak bisa begitu saja dimakan dari buah pengetahuan, demikian pula Sastra Jendra, atau mengubah kekuatan besar dari dalam diri, itu juga tak bisa dilakukan begitu saja tanpa lelaku, tanpa menjalani suatu proses.

Bagaimana seseorang akhirnya bisa kembali sadar untuk berani menemukan arah hidup yang benar dan pas sehingga dia mampu memerankan dirinya sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT dan mau menjalani proses ke arah itu?

Kita pasti ingat sosok gendut, lucu dan kocak dalam sosok Semar. Ki Lurah Semar adalah sosok gaib yang merupakan utusan Gusti Kang Murbeng Dumadi yang bertugas mengingatkan manusia agar selalu berada dalam rel sangkan paraning dumadi dan senantiasa awas eling lan waspodo akan petunjuk-petunjuk Tuhan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus untuk menjaga dan memelihara jagad raya.

Saya memaknai bahwa sosok Semar yang dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai pamomong itu adalah sosok Nabi Khidir. Setidaknya ada tujuh manusia di bumi ini atas kehendak-NYA dianugerahi umur panjang hingga akhir kisah adanya umat manusia. Salah satunya adalah Nabi Khidir.

Adalah Raja Iskandar Zulkarnain yang disebut The Great Alexander (Iskandar yang agung), seorang kaisar yang mampu menaklukkan dunia barat dan timur namun senantiasa menjalankan amanah-NYA. Dalam sejarah tercatat 322 SM, atas saran penasihat kerajaan yang bernama Rafa’il (sejatinya seorang malaikat) Iskandar Zulkarnain menuju ke tepi bumi mencari air kehidupan. Menurut Rafail, siapa yang meminum air tersebut maka dia akan abadi.

Iskandar Zulkarnain (Z): malaikat Rafa’il ceritakanlah kepadaku tentang ibadah para malaikat di langit.

Rafa’il (R) berkata: ibadah para malaikat di langit di antaranya ada yang berdiri tidak mengangkat kepalanya selama-lamanya. Ada yang sujud tidak mengangkat kepala selama-lamanya, dan ada pula yang rukuk tidak mengangkat kepala selama-lamanya. Iskandar tertegun dan muncul dahal hati ingin meniru ibadah pada malaikat. Niatnya hanya satu agar dapat beribadah kepada Allah.

R: Sesungguhnya Allah telah menciptakan sumber air di bumi, namanya Ainul hayat yang artinya sumber air hidup, maka barang siapa yang meminumnya seteguk, maka tidak akan mati sampai hari kiamat atau sehingga ia memohon kepada Allah agar supaya dimatikan.

Z: apakah kau tahu dimana tempat ainul hayat itu.

R: Ainul hayat itu berada di bumi yang gelap.

Mendengar keterangan malaikat Rafa’il tentang Ainul hayat, maka raja mengumpulkan para alim ulama. Raja bertanya kepada mereka tentang Ainul hayat dan ada seorang yang alim di antara mereka menjawab: sesungguhnya aku pernah membaca di dalam wasiat nabi Adam AS, beliau berkata bahwa sesungguhnya Allah meletakkan Ainul Hayat itu di bumi yang gelap.

Dimanakah tempat bumi yang gelap itu ? Tanya raja dan dijawab, yaitu di tempat keluarnya matahari.

Singkatnya, disertai tentara Iskandar Zulkarnain pun berangkat mencari tempat itu. Raja bertanya kepada abdi dalemnya: kuda apa yang sangat tajam penglihatannya di waktu gelap? Mereka menjawab, kuda betina yang perawan. Raja memerintahkan untuk mengumpulkan 1000 ekor kuda betina yang masih perawan, lalu raja memilih di antara tentaranya yang sebanyak 6000 tentara, di antara mereka terdiri juga para cendekiawan dan yang ahli mencambuk.

Di antara para tentara tersebut, Allah SWT menyisipkan Nabi Khidir AS. Setelah menempuh perjalanan jauh selama 12 tahun, tentara yang berjumlah sekitar enam batalyon itu menemukan sebuah tempat yang ternyata gelapnya seperti asap, bukan seperti gelapnya waktu malam.

Seorang cendekiawan mencegah raja masuk ke tempat gelap itu dan tentara-tentaranya berkata kepada raja. “Wahai raja, sesungguhnya raja-raja yang terdahulu tidak ada yang masuk ke tempat gelap ini karena tempat ini gelap dan berbahaya”.

Raja berkata: “Kita harus memasukinya, apapun yang terjadi”.

Saat raja akan masuk, raja berkata kepada pasukannya : “Diamlah, kalian di tempat ini selama 12 tahun, jika aku bisa datang kepada kalian dalam masa 12 tahun itu maka kita pulang bersama, jika aku tidak datang selama 12 tahun maka pulanglah kembali ke negeri kalian.”

Iskandar Zulkarnain bertanya kepada Malaikat Rafail: “Apabila bila kita melewati tempat yang gelap ini apakah kita dapat melihat kawan-kawan kita? “. Rafail menjawab “Tidak bisa kelihatan. Tetapi aku memberimu sebuah mutiara, jika mutiara itu ke atas bumi maka mutiara tersebut dapat menjerit dengan suara yang keras dengan demikian maka teman-teman kalian yang tersesat jalan dapat kembali kepada kalian” .

Raja Zulkarnain masuk ke tempat tersebut dan didampingi oleh Nabi Khidir. Kejadian ini tentu saja sudah diatur oleh Allah SWT. Saat dalam perjalanan di tempatgelap tersebut, Allah SWT memberikan wahyu kepada Khidir: “Bahwa sesungguhnya Ainul Hayat itu berada di sebelah kanan jurang dan Ainul Hayat itu Aku khususkan untuk kamu “.

Setelah Nabi Khidir menerima wahyu tersebut kemudian beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Berhentilah kalian di tempat kalian masing-masing dan janganlah kalian meninggalkan tempat kalian sehingga aku datang kepada kalian “.

Khidir berjalan pasti menuju ke sebelah kanan jurang maka didapatilah oleh beliau sebuah sumber air yang bernama Ainul Hayat yang dicari itu. Khidir turun dari kudanya dan beliau mandi di sumber air hidup tersebut. Khidir merasakan bahwa airnya terasa lebih manis dibanding madu. Setelah mandi dan minum Ainul Hayat, dia menemui Iskandar Zulkarnain yang tidak tahu bahwa Khidir As telah mandi di sana.

PENGAJARAN KHIDIR

Nabi Khidir adalah sosok guru bijaksana yang diberkahi Allah SWT hidup sepanjang usia manusia. Dia adalah tanda dan pembelajaran agar manusia tidak boleh mempertuhankan akal rasionya sebagaimana pengajaran kepada para nabi dan wali selama ini. Diajarkan kepada Nabi Musa As sebuah ilmu futurologis yang susah dijangkai akal, Khidir juga pernah bertemu Rasullullah SAW dan bahkan pernah “menyamar” berguru Ilmu Fiqih kepada Imam Anu Hanifah. Di Jawa, dia pernah memberi pengajaran kepada Sunan Kalijaga (Syech Malaya) di tengah laut saat sang Sunan ingin pergi mencari hidayah iman.

Inilah ajaran Khidir kepada Sunan Kalijaga dalam Suluk Ling Lung: Jika kamu berkehendak naik haji ke Mekah, kamu harus tahu tujuan yang sebenarnya menuju Mekah itu. Ketahuilah, Mekah itu hanyalah tapak tilas saja. Yaitu bekas tempat tinggal Nabi Ibrahim zaman dulu. Beliulah yang membuat bangunan Ka’bah Masjidil Haram, serta yang menghiasai Ka’bah itu dengan benda yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang bergantung di dinding Ka’bah tanpa digantungkan. Apakah Ka’bah itu hendak kamu sembah? Kalau itu yang menjadi niatmu, berarti kamu sama halnya menyembah berhala / bangunan yang dibuat dari batu”.

Perbuatanmu itu tidak jauh berbeda dengan yang diperbuat oleh orang kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja wujud Allah yang yang disembah, dengan senantiasa menghadap kepada berhalanya. Oleh karena itu, biarpun kamu sudah naik haji, bila belum tahu tujuan yang sebenarnya dari ibadah haji, tentu kamu akan rugi besar. Maka dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang kautuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya Ka’batullah (Ka’bah Allah). Demikian itu sesungguhnya iman hidayah yang harus kamu yakinkan dalam hati.

Nabi Khidir berpesan, “Yang Tunggal ada pada dirimu sendiri dan di sana sudah tercakup makna di dalamnya. Tidak dapat kamu lihat, tiada berbentuk apalagi berwarna, tidak berwujud garis, tidak dapat ditangkap mata, juga tidak bertempat tinggal, hanya dapat dirasakan oleh orang yang awas mata hatinya, hanya berupa penggambaran-penggmabaran (simbol) memenuhi jagad-raya, dipegang tidak dapat”.

Bila kamu lihat, yang nampak seperti seperti berubah-ubah putih, yang terang-benderang sinarnya, memancarkan sinar yang menyalan-yala, Sang Permana itulah sebutannya, hidupnya ada pada dirimu; Permana itu, menyatu pada dirimu sendiri, tetapi tidak ikut merasakan suka dan duka, tempat tinggalnya pada ragamu, juga tidak ikut sakit dan menderita, dan jika Sang Permana meninggalkan tempatnya, raga menjadi tidak berdaya, dan pasti lemahlah seluruh badanmu, sebab itulah letak kekuatannya. Permana, dihidupi oleh nyawa yang mempunyai kelebihan, menguasai seluruh badan, Permana itu bila mati ikut menanggung, namun bila telah hilang nyawa, kemudian yang hidup hanyalah sukma / nyawa yang ada. Kehilangan itulah yang didapatkan, kehidupan nyawalah yang sesungguhnya, yang sudah berlalu diibaratkan, seperti rasanya pohon yang tidak berbuah, Sang Permana yang mengetahui dengan sabar, sesungguhnya satu asal, perhatikan secara seksama penjelasan tadi.

Setelah diajarkan semua pelajaran sampai selesai, tentang ruh idhofi yang menjadi inti pembahasannya; Adapunwujud sesungguhnya Alip itu, asal dan muasalnya itu, berasal dari johar Alip itu, yang dinamakan kalam karsa. Timbullah hasrat kehendak Allah itu menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal / muasal kejadian dirinya, maka bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.

Adapun sifat jamal (sifat yang bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan, bahwa pada dasarnya adanya dirinya itu, karena ada yang mewujudkan adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi Kekasih-Nya. “Kalau tidak ada dirimu, saya Allah tidak akan dikenal / disebut; Hanya dengan sebab adanya kamulah yang menyebutkan akan keberadaan-KU; Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu, Adanya Aku, Allah, menjadikan ada dirimu, Wujudmu menunjukkan adanya wujud Dzat-KU”. Dan untuk memperjelas jati dirimu, tidaklah kau sadari, bahwa hampir ada persamaan Asma-Ku yang baik (Asmaul Husna) dengan sebutan manusia yang baik (misal : Allah Yang Maha Pengasih, dengan: Siti Fatimah mengasihi anaknya). Itu semua kau maksudkan untuk memudahkan penggambaran perwujudan tentang Diri-Ku. Padahal kau tahu, Aku berbeda dengan dirimu, yang tidak mungkin dapat disamakan satu sama lain. Dan kamu pasthi mengalami kesulitan dan tidak mungkin dapat melukiskan atau menyebutkan Asma-Ku dengan setepat-tepatnya.

Namamu yang baik dapat menyerupai nama-Ku Yang Baik (Asmaul Husna); Apakah kamu sudah dapat meraih sebutan nama yang baik itu? Baik di dunia maupun di akhirat? Kamu ini merupakan penerus / pewaris Muhammad Rasulullah, sekaligus Nabi Allah. Ya Illahi, ya Allah Tuhanku… (Bagi pembaca maupun pendengar dianjurkan berdoa pada Allah. Insya Allah berhasil kabul apa yang diinginkan, Amin, amin, amin, ya Rabbal alamin).

Nabi Khidir mengakhiri pembacaan Firman Allah SWT, kemudian melanjutkan memberi penjelasan pada Sunan Kalijaga; “Tanda-tanda adanya Allah itu, ada pada dirimu sendiri harap direnungkan dan diingat betul. Asal muasal Alip itu akan menjadikan dirimu bersusah payah selagi hidup. Bagi orang yang senang membicarakan dan memuji dirinya sendiri, akan dapat melemahkan semangat usahanya, antara tidak dan iya penuh kebimbangan. Alip tercipta karena sudah menjadi suratan ketentuan yang digariskan. Sungguhnya alip itu, tetap kelihatan ada dan adanya tidak dapat berubah. Itulah yang disebut Alip. Adapun bila terjadi perubahan, itulah yang disebut Alip Adi, yang menyesuaikan diri dengan keadaanmu.

“Mengapa kamu wajib shalat, di dalam dunia ini?”. Asal mula diwajibkan menjalankan shalat itu ialah menyesuaikan diri dengan ketentuan di zaman azali, kegaiban yang kau rasakan saat itu; Bukankah kamu juga berdiri tegak, bersedekap menciptakan keheningan hati, bersidekap menyatukan konsentrasi, menyatukan segala gerakmu.

Ucapanmu juga perlu kau satukan, akhirnya kau rukuk tunduk kepada yang menciptakanmu, merasa sedih karena malu sehingga menciptakan timbul, keluar air matamu yang jernih, sehingga tenanglah segala kehidupan ruhmu, rahasia iman dapat kau resapi. Setelah merasakan semua itu, mengapa harus sujud ke bumi? Pangkal mula dikerjakan sujud bermula adanya, cahaya yang memberi pertanda pentingnya sujud, yaitu merasa berhadapan dengan wujud Allah biarpun tidak melihat wujud yang sesungguhnya, dan yakin bahwa Allah melihat segala wujuh gerak kita (pelajaran tentang ihsan).

Dengan adanya Islam dimaksudkan, agar makhluk yang ada di bumi dan di langit, dan termasuk dirimu itu, beribadah sujud kepada Allah dengan hati yang ikhlas sampai kepala diletekkan dimuka bumi, sehingga bumi dengan segala keindahannya tidak tampak di hadapanmu, hatimu hanya ingat Allah semata-mata. Ya demikianlah seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa sujud di bumi ini. Mengapa pula menjalankan duduk diam seakan-akan menunggu sesuatu? Melambungkan pengosongan diri dengan harapan ketemu Allah! Padahal sebenarnya itu tidak dapat mempertemukan dengan Allah. Allah yang kau sembah itu betul-betul ada. Dan hanya Allah-lah tempat kamu mengabdikan diri dengan sesungguhnya. Dan janganlah sekali-kali dirimu menggap sebagai Allah. Dan dirimu jangan pula menganggap sebagai Nabi Muhammad.

Untuk menemukan rahasia yang sebenarnya harus jeli. Sebab antara rahasia yang satu berbeda dengan rahasia yang lain. Dari Allahlah Nabi Muhammad mengetahui segala rahasia yang tersembunyi dan Nabi Muhammad sebagai makhluk yang dimuliakan Allah sering menjalankan puasa mengeluarkan shodaqoh naik haji melakukan ibadah shalat.

Hidayah iman (petunjuk iman) yang terasa dalam diri perlu ditangkap dengan kesadaran ruh yang sejati. Tidaklah menggunakan telinga. Cara melatihnya juga tanpa dengan mata. Adapun telinganya, matanya yang diberikan oleh Allah. Ada padamu itu. Secara lahir sukma itu sudah ada padamu. Secara batinnya ada pada sukma itu sendiri. Memang demikanlah penerapannya. Ibarat seperti batang pohon yang dibakar. Pasti ada asapnya api. Menyatu dengan batang pohonnya. Ibarat air dengan alirannya. Seperti minyak dengan susu. Tubuhnya dikuasai oleh gerak dan kata hati dari Yang Maha Batin, Hyang Sukma.

Demikan pun wujudmu, suaramu. Serahkan kembali kepada Yang Empunya suara. Justru kau hanya mengakui saja. Sebagai pemiliknya. Sebenarnya hanya mengatas namai saja. Maka dari itu kau jangan memiliki kebiasaan yang menyimpang. Kecuali hanya kepada Hyang Agung. Dengan demikian maka bersiaplah meraga sukma yaitu kata hatimu sudah bulat menyatu dengan Gusti. Apa yang kau pikir dan kau rasakan akan terwujud dan sudah terkuasai olehmu. Jagad seisinya justru benar-benar untukmu. Sebagai upah atas kesanggupanmu sebagai khalifah di dunia ini.

Ia tidak takut kapan pun maut menjemput. Yang sempurna ialah yang diterima dari Tuhan Yang Tak akan tampak wujudnya. Kesempurnaan mati dihadapi dengan damai dengan tidak meninggalkan hak-Nya dan memasuki alam malakut atau alam para nabi yang baunya harum wewangi dan mulia. Semoga sedulur KWA semua mampu menggapainya. Amin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar